Tingkat kepercayaan kreditur terhadap proses eksekusi jaminan di Indonesia sangat rendah. Hal ini tercermin dari jumlah lelang eksekusi (baik melalui izin pengadilan maupun parate) yang diperkirakan HANYA 6% dari total non performing loan (NPL) perbankan, yang pada Desember 2019 bernilai Rp141,8 triliun.
Total lelang eksekusi tersebut dapat diduga didominasi oleh eksekusi hak tanggungan. Sedangkan eksekusi gadai saham, berdasarkan diskusi saya dengan beberapa teman di industri perbankan, amat kecil. Bahkan ada bank cukup besar yang sudah lama tidak melakukan eksekusi gadai saham. Salah satu penyebabnya adalah aturan mengenai gadai dan proses eksekusinya yang hampir tidak ada kemajuan. Sejak kemerdekaan, tidak pernah ada perubahan aturan mengenai gadai saham.
Memang ada diskusi di tataran akademis dan praktik. Namun diskusi yang paling mengemuka hanya berkisar soal beda tafsir pasal-pasal mengenai eksekusi. Di antara pertanyaan yang muncul dalam diskusi tersebut adalah: (i) apakah penerima gadai boleh menjual saham di bawah tangan (private sale), jika dalam perjanjian pemberi gadai secara tegas telah menyetujuinya? (ii) Apakah persetujuan dalam perjanjian tersebut hanya akan berlaku setelah terjadinya wanprestasi? (iii) Jika persetujuan private sale di muka dalam perjanjian dilarang, maka persetujuan seperti apa yang diperlukan?
Saking asyik berdebat menginterpretasikan pasal-pasal, kita lupa bahwa aturan gadai ini sudah berumur 173 tahun! Mungkin karena itu kita lupa melontarkan ide baru dan segar untuk membuat saham sebagai barang jaminan dan gadainya lebih menarik dan dihargai.
Saat ini saham perseroan terbatas (PT) yang tidak tercatat pada Bursa Efek Indonesia (tertutup) tidak dianggap sebagai jaminan penting. Selain itu, kreditur seringkali hanya mensyaratkan saham sebagai jaminan tambahan, sekedar untuk mengingatkan debitur adanya risiko perusahaannya bisa hilang jika wanprestasi.
Kadang untuk meningkatkan kualitas gadai saham, banyak kreditur, lokal maupun asing, meminta debitur melakukan offshoring sahamnya. Artinya debitur harus memindahkan pemegang saham dari perusahaan di Indonesia kepada perusahaan luar negeri. Baru setelah itu kreditur tersebut mengambil gadai atas saham perusahaan di luar negeri berikut saham perusahaan anaknya di Indonesia.
Proses offshoring ini biasanya menimbulkan biaya tambahan yang cukup mahal bagi pengusaha. Offshoring bukan saja membutuhkan biaya atas jasa konsultan dalam pengalihan, namun juga pajak dan biaya pemeliharaan perusahaan di luar negeri.
Tuntutan untuk melaksanakan offshoring, berikut seluruh biaya tambahannya, adalah indikasi dari rendahnya kepercayaan dunia usaha atas hukum di Indonesia. Terbukti bahwa harga dari ketidakpastian hukum di Indonesia sangatlah mahal.
Rendahnya nilai gadai saham juga bisa menghambat pengusaha dalam mendapatkan pembiayaan. Perusahaan yang sahamnya bernilai baik, namun tidak punya aset dalam bentuk tanah, tetap sulit mengakses pembiayaan. Bayangkan jika saham PT tertutup diterima lebih baik sebagai jaminan. Betapa banyak pengusaha (besar dan kecil) yang bisa memperoleh “aset” berharga baru untuk dijadikan jaminan, guna memperbesar akses pada pembiayaan.
Penghujung 1990 merupakan periode bersejarah untuk hukum jaminan. Pada masa itu bangsa kita membongkar sistem jaminan atas tanah dan barang bergerak, serta melompat dari konsepsi abad ke-19 menuju era yang lebih modern melalui pemberlakuan UU Hak Tanggungan 1996 dan UU Fidusia 1999. Efeknya cukup terasa bagi proses pengikatan dan eksekusi hak jaminan, khususnya hak tanggungan. Namun entah kenapa gadai tertinggal sendirian.
Gadai Saham masih ada harapan?
Dibandingkan gadai benda bergerak yang berwujud dan gadai saham perusahaan yang tercatat di bursa efek (saham scripless), daya tarik gadai saham PT tertutup masih jauh tertinggal. Pertanyaannya, mengapa penerimaan atas jaminan saham scripless bisa sangat berbeda dari jaminan saham PT tertutup? Apakah ada urgensi melakukan perubahan untuk mendekatkan keduanya? Jika iya, perubahan apa yang bisa dilakukan?
Paling tidak ada tiga permasalahan yang berperan menghambat potensi saham PT tertutup untuk menjadi jaminan utama. Pertama, ketiadaan sistem pendaftaran yang kredibel dan mudah diakses; kedua, proses eksekusi yang penuh ketidakpastian; dan ketiga, masalah likuiditas saham.
Permasalahan tersebut paling baik diselesaikan melalui pembuatan undang-undang gadai saham. Sambil menunggu munculnya UU Gadai asli produk anak bangsa (semoga), ada beberapa langkah cepat yang dapat dipertimbangkan untuk mengangkat harkat gadai saham perusahaan tertutup.
Pencatatan Gadai Saham melalui SABH
Salah satu masalah gadai saham PT tertutup adalah absennya sistem pencatatan gadai secara publik. Saat ini pendaftaran gadai saham dilakukan pada buku saham perseroan yang dikelola oleh direksi perseroan. Pengelolaan oleh perseroan yang bersangkutan dan bukan oleh pihak ketiga independen membuat kredibilitas pencatatan ini rendah.
Saya sendiri beberapa kali melihat debitur mengalihkan saham dalam gadai tanpa izin kreditur. Ini mungkin terjadi karena rendahnya integritas pencatatan gadai. Adanya sistem administrasi badan hukum (SABH) yang mumpuni, yang dikelola Kementerian Hukum dan HAM membuka peluang solusi cepat terhadap masalah ini.
Fungsi pencatatan tersentral melalui SABH ini diperlukan untuk memberikan informasi kepada publik, menghindari pemberian gadai ganda, serta menjaga pengalihan atas saham yang sedang digadaikan. Proses integrasi pencatatan gadai saham tersentral ini bisa dimplementasikan secara cepat hanya dengan mengamandemen Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 4 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 1 Tahun 2016.
Amandemen baru itu akan mewajibkan PT tertutup melaporkan gadai sahamnya melalui SABH. Atas dasar laporan tersebut saham yang digadaikan akan diblokir. Selanjutnya blokir hanya dapat dicabut setelah kreditur memberikan surat pencabutan blokir melalui notaris yang selama ini menjadi perantara akses kepada SABH. Sistem pencatatan semacam itu terbukti sukses diterapkan pada saham scripless melalui PT Kustodian Sentral Efek Indonesia. Lalu mengapa kita tidak menjajal hal yang sama untuk saham PT tertutup?
Kepastian hukum proses eksekusi gadai
Eksekusi jaminan merupakan salah satu masalah terbesar hukum kita. Sejak merdeka bangsa kita belum berhasil menemukan formula yang baik dan tepat bagi proses eksekusi jaminan yang pasti dan sebanding.
Bahkan di awal tahun ini proses eksekusi fidusia mendapatkan pukulan telak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguji UU Fidusia. Dalam putusannya MK mewajibkan kreditur untuk memperoleh persetujuan debitur: (i) atas terjadinya wanprestasi, yang jika tidak maka kreditur wajib menggugat debitur dan memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan (ii) untuk eksekusi (khususnya menarik barang jaminan fidusia), yang jika tidak maka kreditur wajib meminta bantuan pengadilan untuk eksekusi tersebut. Mengingat putusan MK tersebut khusus menyangkut jaminan dalam bentuk fidusia, saya tidak akan membahasnya di sini.
Proses eksekusi gadai saham PT tertutup menurut pandangan beberapa ahli secara teoritis mudah dilakukan antara lain melalui parate eksekusi atau melalui permohonan pada pengadilan. Pada kenyataannya proses ini masih dianggap berisiko dan penuh ketidakpastian, yang dicerminkan dari perdebatan tiada henti di kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Kreditur umumnya anti ketidakpastian. Karena itu banyak yang menganggap upaya eksekusi gadai saham tidak layak untuk dilaksanakan. Sikap ini direfleksikan oleh sedikitnya jumlah eksekusi gadai saham PT tertutup sebagaimana saya sampaikan di awal tulisan ini.
Bukannya tidak ada upaya memperbaiki proses eksekusi tersebut. Dalam konteks lelang, Kementerian Keuangan sudah mencoba memperkuat organisasi lelang yang berada di bawah Direktorat Lelang, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Dari segi peraturan juga ada beberapa perbaikan antara lain melalui penegasan bahwa lelang tidak akan berhenti sekalipun ada perlawanan dari pihak debitur, penjamin ataupun afiliasinya.
Sayangnya, sedikit kemajuan itu belum berhasil memenuhi harapan para kreditur pada umumnya. Sampai saat ini offshoring gadaimasih terus terjadi dan tingkat eksekusi di 2019 masih sangat rendah. Rasanya sudah waktunya pemerintah (dalam hal ini Kementerian Keuangan), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Mahkamah Agung (MA) untuk duduk bersama kembali dan lebih serius merumuskan proses eksekusi yang cepat serta berkeadilan. Duduk bersama tersebut bisa diawali dengan membahas RUU Pelelangan yang sedang dipersiapkan Kementerian Keuangan.
Di samping perbaikan aturan mengenai lelang, proses eksekusi melalui pengadilan juga perlu segera direformasi. Upaya membentuk hukum acara perdata karya Indonesia yang sudah dimulai sejak 1987 sangat penting untuk dituntaskan. Namun sembari menunggu RUU tersebut, alangkah baiknya jika MA mengisi kekosongan hukum acara dengan membuat peraturan rinci mengenai proses eksekusi jaminan, guna memperkuat proses parate eksekusi juga menjawab tantangan dalam proses eksekusi melalui izin pengadilan. Dalam menghadapi kesemrawutan urusan eksekusi, Ditjen Badilum MA pada awal 2019 sudah mengeluarkan pedoman eksekusi yang cukup komprehensif. Apa yang diatur di sini dapat menjadi acuan pembuatan peraturan MA tersebut.
Salah satu konsep baru yang perlu dipertimbangkan adalah pembedaan perlakuan eksekusi berdasarkan jumlah tagihan. Pembedaan ini perlu karena karakteristik debitur besar dan kecil yang berbeda. Putusan MK mengenai UU Fidusia bisa kita lihat sebagai reaksi atas praktek eksekusi pada nasabah consumer loan.
Nasabah kecil, individu, dan UMK umumnya mendapatkan pembiayaan dengan proses yang berlaku umum dan menggunakan perjanjian standar, dengan sedikit ruang untuk negosiasi. Sementara debitur korporasi ditangani secara one-on-one, karena nilai pinjaman yang besar dan membutuhkan pengaturan lebih kompleks, sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat.
Tagihan yang menjadi batas pembeda proses hukum itu dapat ditetapkan berdasarkan rata-rata pinjaman untuk membeli rumah pertama, kendaraan pertama, serta jumlah pinjaman UMK. Jika nilai sengketa maksimal (threshold) gugatan sederhana (small claims court) adalah Rp500 juta, maka untuk masalah eksekusi, idealnya threshold tidak lebih dari Rp10 miliar atau sama dengan batas maksimal pinjaman yang mendapatkan keringanan kredit karena wabah Corona.
Khusus untuk pinjaman yang di bawah threshold tersebut, proses eksekusi dilakukan setelah debitur terbukti wanprestasi dalam proses persidangan cepat dengan mengikuti prosedur gugatan sederhana. Untuk tidak mengganggu threshold gugatan sederhana yang ada, threshold ini bisa diperlakukan khusus perkara hutang piutang dengan perusahaan keuangan di bawah OJK. Dengan demikian rasa keadilan bagi nasabah kecil dan kebutuhan dunia keuangan akan kepastian hukum dapat terpenuhi.
Untuk pinjaman di atas Rp10 miliar, proses parate eksekusi dengan penguatan tetap menjadi pilihan yang ideal. Namun perlu dipertimbangkan untuk memperkenalkan proses dismissal sebagaimana yang sudah diterapkan dalam acara tata usaha negara untuk menyelesaikan keberatan terhadap lelang dari pihak selain debitur ataupun penjamin. Dalam proses dismissal,keberatan terhadap pelaksanaan lelang dapat didengar dan diputus secara cepat. Sehingga pelaksanaan lelang tidak perlu menunggu tahunan sampai dengan gugatan diputus dan berkekuatan hukum tetap.
Beberapa perubahan di atas menurut saya bukan terobosan yang sulit mengingat track record inovasi MA yang sangat baik. Namun demikian untuk dapat membuat produk peraturan yang merefleksikan kebutuhan para pelaku pasar, berbagai stakeholders lain seperti OJK, Kementerian Keuangan, akademisi dan praktisi tentu saja perlu diajak terlibat aktif dalam pembahasannya.
Pembentukan Pasar OTC Saham Gadai
Dari segi likuiditas, saham PT tertutup dan terbuka jelas berbeda dan saya pikir sulit membuat keduanya sama. Namun kita masih mungkin mendekatkan keduanya dengan membentuk pasar yang dapat membuat saham PT tertutup menjadi lebih likuid. Caranya dengan membuat bursa over the counter (OTC) di mana saham PT tertutup dapat diperdagangkan oleh para broker dengan pembatasan tertentu.
Pembatasan pertama adalah bahwa yang dapat berpartisipasi dalam pasar OTC ini hanyalah pemodal yang punya kemampuan membeli dan melakukan analisis risiko pada saham PT tertutup pada umumnya (pemodal profesional). Konsep pemodal profesional ini sudah digunakan sebelumnya dalam ketentuan OJK mengenai reksa dana penyertaan terbatas (POJK 37/2014).
Syarat kedua, saham pada bursa OTC ini dapat diperdagangkan namun tidak melalui penawaran umum sebagaimana didefinisikan dalam UU Pasar Modal. Berdasarkan ketentuan saat ini, penawaran umum adalah penawaran efek kepada lebih dari 100 orang dan dijual kepada lebih dari 50 orang atau jumlah lain yang ditetapkan oleh OJK. Untuk keperluan OTC ini, tampaknya OJK perlu menaikkan batasan jumlah pihak yang dapat diberikan penawaran, menjadi lebih dari 100, sepanjang dilakukan melalui bursa OTC. Jika tidak, kuatirnya proses perdagangan menjadi tidak efektif.
Terakhir, akan lebih baik jika bursa OTC tersebut mendapatkan pengakuan dari OJK maupun dari MA sebagai “bursa” yang disebutkan dalam Pasal 1155 KUHPerdata. Dengan demikian penjualan saham dalam gadai dapat dilakukan secara langsung melalui dua broker untuk mendapatkan harga yang fair. Adanya pasar bagi saham PT tertutup ini akan membuka banyak kesempatan baru bagi debitur maupun kreditur serta memperluas pasar pembiayaan kita.
OJK perlu diajak serta
Industri perbankan mungkin merupakan industri yang paling terorganisir dengan baik. Dari segi governance, aturannya sangat jelas, serta pengawasan baik internal maupun eksternalnya berjalan dengan baik. Sistem pelaporan bank kepada pengawas pun sangat kompleks, meski berjalan baik serta tertata rapi. Karena banyaknya data yang dikelola, saya yakin OJK sebagai pengawas memiliki teknologi big data yang bisa diandalkan. Tanpa itu, OJK pasti kesulitan menjalankan fungsinya dengan baik.
Dengan model pengawasan yang baik serta data yang komprehensif dan up to date, OJK sebagai pengawas perbankan mengetahui betul kondisi serta tantangan yang dihadapi semua bank. Namun saya menduga selama ini OJK kurang dilibatkan dalam diskusi mengenai aspek hukum jaminan. Dugaan ini muncul karena berdasarkan Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019, tidak tampak adanya keterlibatan OJK dalam proses pengujian UU tersebut. Padahal saya yakin OJK dapat berkontribusi lewat argumentasi yang didasarkan pada data dan informasi.
Jangan sampai proses pembentukan peraturan mengenai jaminan tidak memanfaatkan data dan informasi dari sektor perbankan yang merupakan stakeholder terbesar. Diskusi mengenai permasalahan eksekusi tanpa melibatkan OJK sama seperti makan sambal tanpa ikan asin nasi. Pasti tidak karuan rasanya. Dengan terlibat aktifnya OJK dalam proses regulasi di bidang ini, saya yakin peraturan yang dibuat akan lebih ‘nyambung’ dengan kebutuhan masyarakat dan industri keuangan.
Leave a Reply