Banyak sekali pertanyaan dan komentar mengenai peraturan permodalan Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia. Kebanyakan pertanyaan dan komentar tersebut muncul karena aturan yang ada masih mengikuti skema ketentuan abad ke-19, dan tidak disesuaikan dengan kemajuan dan pendekatan logika modern yang lebih sederhana, sehingga aturan itu tidak mudah dipahami oleh semua kalangan.
Harus diakui selama ini sangat jarang dilakukan riset dan diskusi dengan skala yang cukup besar mengenai hukum yang menyangkut perseroan terbatas (apalagi soal ketentuan permodalan). Kenyataan ini rasanya sulit diterima mengingat mayoritas transaksi bisnis di Indonesia (dari segi nilai) dilakukan oleh badan hukum PT.
Absennya diskursus mengenai PT ini membuat pengetahuan dan pemahaman kolektif menjadi tidak berkembang. Mungkin itu yang menjadi sebab mengapa kita tidak pernah merasa salah untuk terus menggunakan pendekatan dan konsep warisan Belanda yang sudah tidak sesuai dengan kenyataan modern.
Klasifikasi permodalan PT dalam hukum indonesia
Sejak masa KUHD sampai dengan hari ini, kita masih mengenal dan menggunakan tiga jenis modal PT yaitu modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor. Kenapa kita masih menggunakan klasifikasi seperti ini? Saya pikir ini adalah perpaduan antara kekhawatiran bahwa perubahan yang besar akan mengganggu praktik yang berjalan selama ini dan keengganan untuk mengikuti perkembangan pada bidang ini. Namun tidak ada salahnya jika kita mulai mempertanyakan ketentuan yang ada saat ini.
Modal dasar adalah jumlah modal yang dialokasikan pada dan akan dikeluarkan oleh pemegang saham dalam jangka menengah. Sebagian dari modal dasar sudah harus dikeluarkan dan sisanya (atau yang biasa disebut saham dalam portepel) akan dikeluarkan nanti sesuai dengan perkembangan usaha. Dengan alokasi modal untuk jangka menengah ini, pemegang saham tidak perlu repot mengurus persetujuan penambahan modal yang pada masa lampau melibatkan proses yang panjang.
Modal ditempatkan adalah bagian dari modal dasar yang sudah dikeluarkan dan diambil bagian oleh pemegang saham. Dari tiga ketentuan mengenai PT yang ada dan pernah ada di Indonesia, terdapat perbedaan pendekatan mengenai modal ditempatkan. KUHD mensyaratkan bahwa 1/5 dari modal dasar harus ditempatkan dan UUPT 1995 dan 2007 mensyaratkan 1/4 dari modal dasar sudah harus ditempatkan.
Yang terakhir modal disetor. Klasifikasi modal disetor ini ada karena dibukanya kesempatan pada pemegang saham untuk mencicil penyetoran saham. Misalnya KUHD membolehkan penyetoran minimal 1/10 dari porsi masing-masing saham yang diambil bagian oleh pemegang saham.
Sejak UUPT 1995 dikeluarkan dan kemudian dikonfirmasikan kembali oleh UUPT 2007, skema cicilan tersebut ditiadakan. Namun klasifikasi modal disetor tetap digunakan dalam UUPT 2007 yang berlaku saat ini. Tentu saja hal ini menjadi satu pertanyaan. Kalau modal disetor sama dengan modal ditempatkan, mengapa masih dipertahankan istilah modal disetor?
Untuk Apa Ada Modal Dasar & Modal Ditempatkan (dan Disetor)?
UUPT 1995 dan 2007 membuat perubahan penting dengan menghapus fungsi modal disetor dengan cara menyamakannya dengan modal ditempatkan. Pertanyaannya mengapa kita berhenti di situ dan tidak mencoba bergerak lebih jauh lagi dengan sekaligus merombak ketentuan mengenai modal dan menghilangkan segala perbedaan yang tidak esensial itu?
Kebutuhan akan klasifikasi modal dasar boleh dibilang sudah tidak lagi relevan. Sistem administrasi badan hukum ahu.go.id (SABH) yang ada sekarang dapat memberikan persetujuan atas perubahan modal dengan sangat cepat. Sebagai perbandingan, sebelum sistem SABH berjalan dengan baik seperti sekarang, waktu untuk memperoleh persetujuan perubahan modal sejak dokumen lengkap di notaris bisa berkisar antara satu sampai dengan tiga bulan. Sekarang cukup beberapa menit saja.
Perubahan waktu proses yang sangat signifikan tersebut seharusnya cukup untuk membuat kita mempertimbangkan kembali relevansi modal dasar sebagai sarana kemudahan pengeluaran modal dalam jangka menengah yang didesain pada abad ke-19 itu. Jika modal dasar sudah tidak relevan lagi dan modal disetor juga sudah tidak memiliki arti, bukankah ini waktunya untuk mempertimbangkan satu jenis modal saja?
Perubahan tersebut bisa menggunakan cara dan pendekatan UUPT 1995 dan 2007, yaitu dengan membuat modal dasar menjadi sama dengan modal ditempatkan dan disetor. Kemudian, berbeda dengan kedua UUPT tersebut, nama ketiganya cukup diganti menjadi “modal” saja.
Dengan perubahan tersebut dalam setiap PT modal berarti seluruh modal yang sudah diambil bagian dan disetor penuh oleh para pemegang saham. Dengan perubahan ini proses dapat dibuat lebih ringkas, orang tidak perlu lagi mengajukan pertanyaan yang tidak perlu dan yang terpenting masyarakat luas menjadi lebih mudah memahami soal menyangkut modal PT.
Perlukah Nilai Nominal Saham Dipertahankan?
Setelah kita menggabungkan tiga jenis modal menjadi satu dengan sebutan “modal”, bolehlah kita mengajukan pertanyaan selanjutnya untuk menyederhanakan ketentuan mengenai modal. Bagaimana dengan nilai nominal saham? Apakah hadirnya nilai nominal ini mempunyai fungsi yang penting sehingga layak dipertahankan?
Jika kita lihat secara lebih dekat, kontribusi nilai nominal pada rezim permodalan tidak lebih dan tidak kurang hanya sebagai pembagi nilai modal menjadi satuan saham. Pembagian tersebut tidak memiliki arti apa-apa karena nilai nominal saham tidak merefleksikan nilai perusahaan setelah modal yang ada digunakan oleh perusahaan.
Jika kita melihat harga saham di bursa efek Indonesia. Tidak pernah ada relevansi antara nilai nominal dengan harga saham yang tercipta di pasar, yang dianggap lebih mendekati nilai wajar perusahaan yang relevan.
Kalau memang tidak ada gunanya, mengapa nilai nominal dipertahankan dalam masing-masing UUPT 1995 dan 2007? Juga terdapat larangan mengeluarkan saham dalam satu kelas dibawah nilai nominalnya. Saya kira, sama dengan pilihan untuk mempertahankan “modal disetor”, walaupun sudah tidak berguna, pembuat kedua UUPT tersebut khawatir membuat produk yang terlalu berbeda dengan praktek selama ini.
Mungkin saja pendekatan seperti itu tepat pada masanya. Namun dalam era sekarang, kita harus menggunakan pendekatan yang berbeda. Kita harus berani melakukan evaluasi dan perubahan berbagai ketentuan agar menjadi lebih efisien dan masuk akal.
Kisah PT Menempuh Badai
Melalui kisah sebuah perusahaan, sebut saja PT Menempuh Badai, mari kita nilai apakah kehadiran nilai nominal berguna atau malah menghambat. PT Menempuh Badai memiliki modal dasar pada saat pendirian sejumlah Rp1 miliar, dibagi dalam 1000 lembar saham dengan nilai nominal per saham Rp1 juta. Seluruh modal dasar tersebut sudah diambil bagian dan disetor penuh oleh seluruh pemegang saham. Karena pada saat pendirian dalam kas PT ini terdapat uang tunai Rp1 miliar, nilai riil per saham sama dengan nilai nominalnya, yaitu Rp1 juta.
Kemudian PT Menempuh Badai mulai mengarungi dunia usaha. Modal digunakan untuk menyewa kantor dan pabrik, biaya pegawai, pembelian mesin dan peralatan. Setelah modal digunakan untuk membiayai operasi dan usaha tersebut, nilai perusahaan berubah. Ke mana arah perubahan, tergantung tingkat keberhasilan usaha. Pada saat modal digunakan, nilai nominal berubah menjadi hiasan yang tidak memiliki arti dan bahkan mengganggu, terutama dengan adanya ketentuan bahwa saham dalam satu kelas tidak boleh dikeluarkan dibawah nilai nominalnya.
Untungnya perjalanan membawa PT Menempuh Badai kepada keberhasilan. Investor antre untuk meminang. Akhirnya disepakatilah kerja sama dengan investor yang memberikan penawaran terbaik. Kesepakatannya, investor akan mengambil sejumlah 100 saham baru (sehingga total saham akan menjadi 1100) dengan harga Rp10 miliar. Dengan demikian pre money valuation PT Menempuh Badai adalah Rp100 miliar. Bandingkan dengan modal awal yang hanya Rp1 miliar.
Di sini ketentuan mengenai nilai nominal membuat proses dengan investor menjadi ruwet. Si investor memiliki dua pilihan. Pertama dengan tetap menggunakan nilai nominal sama yaitu Rp1 juta per saham. Untuk itu hanya sebagian dana investor (Rp100 juta) yang dicatat sebagai penyetoran modal. Sisanya (Rp9,9 miliar) akan dicatat sebagai agio atau premium.
Alternatif kedua, PT Menempuh Badai dapat mengeluarkan jenis saham baru, katakanlah saham kelas B, dengan hak yang sama dengan saham biasa namun dengan nilai nominal per saham Rp100 juta. Dengan alternatif kedua ini, investor akan dicatat memasukkan Rp10 miliar untuk 100 saham kelas B. Alternatif ini menimbulkan kerumitan yang sama sekali tidak perlu dan tidak berguna, di mana perusahaan harus mengeluarkan dua jenis saham yang masing masing memiliki hak yang persis sama.
Proses akan jauh lebih mudah jika saham PT Menempuh Badai tidak memiliki nilai nominal. Investor dapat langsung mengambil bagian 100 saham biasa dengan harga Rp10 miliar. Sehingga seluruh investasi akan dicatat sebagai bagian dari setoran modal investor tanpa harus membuat kelas saham baru. Bukankah ini menjadi lebih mudah dipahami dan transparan?
Usulan perubahan atas ketentuan UUPT 2007 di atas adalah sebagian kecil dari banyak perubahan yang harus dilakukan. Untuk itu kita perlu lebih berani untuk terus mempertanyakan dan mengevaluasi berbagai ketentuan tersebut. Prinsipnya, setiap ketentuan yang tidak mudah dipahami logika, harus menjadi sasaran perubahan.
Memang melakukan perubahan undang-undang apalagi seperti UUPT bukanlah hal yang mudah. Karena pemangku kepentingannya sejauh ini bertindak sebagai pengguna setia dan bukan pengguna kritis. Di samping itu, karena PT merupakan badan usaha, Pemerintah cenderung lebih memilih untuk bersikap hati-hati untuk tidak mengganggu praktik yang ada.
Semangat perubahan yang dicoba didorong melalui perubahan UUPT di dalam UU Cipta Kerja yang sedang dibahas di DPR dapat dijadikan acuan. Perubahan tersebut mempertanyakan argumen bahwa pemegang saham PT minimal harus dua orang karena anggaran dasar PT dianggap suatu perjanjian. Semangat perubahan seperti inilah yang perlu terus kita lakukan untuk membuat UUPT kita lebih user friendly.
Leave a Reply